TOKOH PERANG JAWA YANG FENOMENAL
NAPAK TILAS NAN MENGESANKAN
Kalau
saya di tanya tokoh Perang Jawa, pasti saya akan langsung menjawab Diponegoro.
Nama Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo sendiri sudah begitu tersohor
dalam Sejarah Perang Jawa dalam kurun waktu 1825-1830.
Tokoh
Diponegoro sendiri masih melekat kuat dalam imaji saat pelajaran Sejarah
Indonesia kala saya duduk di bangku SD, di dinding ruang kelas terdapat poster Tokoh Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro naik kuda menggunakan
sorban dan jubah putihnya beserta keris kesayangannya yang di beri nama Kyai
Nogosiluman, dalam poster dilukiskan Diponegoro dengan gagahnya menghela
kekang kuda dengan sorot mata yang tajam seakan mengisyaratkan bahwa dirinya
tidak takut berperang melawan Belanda.
NAPAK TILAS PANGERAN DIPONEGORO
Ketika
Komunitas Jelajah Budaya mengadakan kegiatan Napak Tilas Pangeran Diponegoro di
Batavia, ada keraguan untuk mengikuti kegiatan ini, karena napak tilas ini
merupakan Trilogi dari kegiatan sebelumnya.......
Pertama
: tanggal 10-11 November 2018 KJB telah mengadakan Napak Tilas Pangeran
Diponegoro di Daerah Jawa Tengah, lebih tepatnya di daerah Tegalrejo hingga
Mateseh tempat bersejarah Diponegoro saat Perang Jawa berlangsung.
Kedua
: tanggal 12 November 2018 KJB melanjutkan Napak Tilas dengan menghadiri Soft
Opening Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta.
Ketiga
: tanggal 15 Desember 2018 Trilogi Napak Tilas Pangeran Diponegoro di Batavia,
di mulai dari Museum Nasional Jakarta dan berakhir di Museum Sejarah Jakarta.
Keraguan
terbesar dalam diri untuk mengikuti kegiatan ini adalah takut gagal paham
karena tidak mengikuti dua kegiatan Napak Tilas sebelumnya, secara di group WA
mereka terus-menerus berkisah tentang perjalanan yang terlalui hingga
berhari-hari lamanya, sepertinya sebuah perjalanan jelajah yang sangat
berkesan, hingga membuat “bapper” beberapa peserta yang ikut...... hahahahaha.
MUSEUM NASIONAL
Napak
tilas kali ini start di mulai dari Museum Nasional, alasan mengapa harus di
mulai dari Museum Nasional....? karena di lantai 4 Museum Nasional terdapat
koleksi asli Pelana Kuda, Tombak Pusaka Kyai Rondhan dan Tongkat Kyai Cokro
milik Pangeran Diponegoro yang di pergunakan saat dahulu beliau berperang
melawan Belanda.
PELANA KUDA & KYAI GENTAYU
Jika kita berada di
lantai 4 Museum Nasional Jakarta terdapat koleksi asli Pelana Kuda Pangeran
Diponegoro yang masih terawat dengan baik walaupun
kondisinya sudah rapuh termakan usia.
Kyai Gentayu si Burung Jatayu, adalah seekor
kuda hitam legam dengan bulu-bulu putih di kaki-kakinya adalah pemberian dari Eyang Sang Pangeran saat
Diponegoro akil balik.
Sosok
Kuda Kyai Gentayu seolah-olah memang ditakdirkan untuk hidup Sang
Pangeran dan dianggap sebagai pusaka hidup. Diponegoro di gambarkan nampak
begitu gagah perkasa saat berada di atas pelana kudanya, pelana kuda itu
sendiri tentu menyimpan seribu kisah tentang perjalanan hidup Sang Pangeran
akan hari yang telah dilaluinya bersama.
TOMBAK PUSAKA KYAI RONDHAN
Selain
pelana kuda, di museum ini terdapat pula tombak Sang Pangeran yang di beri nama
Tombak Pusaka Kyai Rondhan, menurut cerita sejarah Tombak Pusaka Kyai Rondhan ini cukup sakti, karena benda ini dianggap bisa memberikan perlindungan dan
peringatan akan adanya bahaya yang mengancam jiwa Sang Pangeran.
Kala itu
Diponegoro berhasil lolos dari sergapan pasukan gerak cepat yang dipimpin oleh
Mayor A.V. Michiels, di wilayah Pegunungan Gowong, sebelah Barat Kedu pada 11
November 1829 tepat di hari kelahiran Sang Pangeran yang ke 44 tahun. Sayang
pada saat berkejaran kaki Diponegoro terluka, bahkan beliau tidak sempat lagi
membawa kuda kesayangannya dan Pusaka Tombak Kyai Rondhan yang dianggap mampu
melindungi nyawa Sang Pangeran.
TONGKAT KYAI COKRO
Selain
Tombak Kyai Rondhan ada satu lagi benda yang selalu menemani perjalanan hidup
Diponegoro yakni sebuah tongkat yang di beri nama Kyai Cokro.
Konon
menurut sejarah Tongkat Kyai Cokro ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap
kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar
segala kegiatannya diberkati. Diponegoro sendiri mendapatkan tongkat itu
tersebut dari seorang warga biasa asal Jawa. Dan tongkat itu diberi nama Tjokro atau
Cakra karena ujungnya bulat seperti bulan.
Simbol
cakra memiliki makna penting bagi Sang Pangeran, mengingat cakra
adalah senjata Dewa Wisnu, inkarnasinya yang ke-7 sebagai penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Hal ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan
kedatangan Sang Ratu Adil atau erucakra.
Sebenarnya
kisah tentang Kuda Kyai Gentayu, Keris Nogosiluman, Tombak Kyai Rodhan dan
Tongkat Kyai Cokro, begitu panjang dan berliku jika di kisahkan karena
benda-benda tersebut melekat erat dalam perjalanan hidup Diponegoro, saya
sendiri tidak mampu berkisah tentang hal itu, saya baru membaca
sekilas tentang hal itu, jadi buat yang masih penasaran tentang Pusaka Sang Pangeran secara
lengkap hubungi toko buku jangan ke apotik ya guys ..... hehehe
MUSEUM SEJARAH JAKARTA
Hari
sudah menjelang senja saatnya beranjak menuju lokasi napak tilas berikutnya
menuju ke Museum Sejarah Jakarta, berbarengan dengan beberapa Sahabat KJB menuju halte Busway menggunakan
moda transportasi Trans Jakarta bagi yang tidak membawa kendaraan pribadi, suasana
dalam bus agak lengang hari itu suasananya masih nyaman tidak berjejal seperti di
kala weekday. Kurang lebih setengah jam perjalanan sampailah kami di halte
kota, melanjutkan perjalanan menuju Museum Sejarah Jakarta yang kondisinya
cukup ramai menjelang senja hari.
Memasuki
pintu museum bertemulah kami dengan sahabat lama Mas Wege, di sambut dengen
sedikit histeria..... maklum sudah lama kagak jelajah barengan dengan Mas Wege
yang sekarang kian sibuk dengan jadwal motretnya sudah menembus hingga ke
tetangga luar, sukses terus ya mas.
Tujuan
utama kami ke Museum Sejarah Jakarta untuk merefleksi kembali bahwa Diponegoro
pernah merasakan dinginnya dinding penjara Stadhuis. Sebagai apresiasi
perjuangan Sang Pangeran Museum Sejarah Jakarta memberikan ruangan khusus
membuat replika kamar Sang Pangeran. Di tanggal 12 November 2018 lalu telah di
laksanakan Soft Opening Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta.
Karena
rombongan lumayan banyak maka kami dibagi menjadi dua, saya termasuk menjadi
rombongan kedua untuk bisa masuk ke dalam kamar, sembari menunggu giliran
menyempatkan diri melihat-lihat toko souvenir yang ada di dalam sekitar
lingkungan museum.
KAMAR DIPONEGORO (Balai
Kota/ Stadhuis Batavia)
Sekitar
45 menit menunggu giliran rombongan kedua akhirnya memasuki Ruang Diponegoro,
lokasi menuju ruangan ini berada di tempat khusus yang terpisah dengan ruangan
Museum Sejarah yang lain.
Dalam
ruangan ini di buat replika ilustrasi kondisi kamar Sang Pangeran waktu itu,
terdapat tempat tidur dan sepasang kursi berikut meja, dan uniknya terdapat
meja yang di atasnya ada sebuah sangkar burung.
Dikisahkan bahwa di ruangan yang digunakan oleh pahlawan nasional Indonesia,
Pangeran Diponegoro (1785-1855), selama masa penjara di Stadhuis (Balai Kota
Batavia) antara 8 April hingga 3 Mei 1830. Ditangkap secara licik di Magelang
oleh komandan tentara Belanda, Jenderal Handrik Merkus de Kock (1779-1845),
pada 28 Maret 1830, selama “negosiasi perdamaian” pada akhir Perang Jawa
(1825-1830), dan dibawa dari Semarang ke Batavia dengan Kapal Uap, SS Van der
Capellen, Diponegoro menghabiskan 26 jari di dua kamar ini dengan istrinya,
Raden Ayu Retnoningsih (sekitar 1810-1885), adik perempuannya, Raden Ayu
Dipowiyono, saudara ipar, Raden Tumenggung Dipowiyono, dan 16 punakawan
(pembantu akrab), pengikut (volgelingen) dan pembantu, menunggu keputusan
Gubernur-Jenderal mengenai pengasingan politiknya di Sulawesi (Manado,
1830-1844; Makasar, 1833-1855).
Kamar
tersebut merupakan apartemen pribadi dari sipir (kepala bui) Kota Batavia yang
berkewajiban mengosongkan mereka jika seorang tahanan politik berstatus tinggi
seperti Diponegoro berada ditempat tinggal sementara. Di bawah kamar ini adalah
penjara wanita di mana komandan perempuan Acah, Cut Nyak Dien (1848-1908),
kemudian ditahan (1902), dan lebih ke bawah lagi adalah ruang bawah tanah di
mana narapidana berstatus rendah, seperti penasihat agama Diponegoro, Kiai Mojo
(sekitar 1792-1849), dan 62 pengikutnya, dipenjarakan dari Januari 1829 hingga
Februari 1830 sebelum mereka dikirim ke Menado (Tondano).
Selama
26 hari di Stadhuis, Diponegoro menulis dua surat kepada keluarga terdekatnya
(ibunda, Raden Ayu Mangkorowati {1770-1852}), dan anak laki-laki tertua,
Pangeran Diponegoro Muda (sekitar 1803-pasca-Maret 1856), mengunyah sejumlah
besar sirih, memberi dirinya obat jamu (temulawak, beras kencur) untuk mengatur
demam malaria, dan potretnya dibuat sketsa oleh Hakim Batavia, Adrianus
Johannes (Jan) Bik (1790-1872), seorang seniman berbakat yang bertugas untuk
mengawasi Pangeran selama ia berada di ibu kota kolonial.
REPLIKA LUKISAN SANG PANGERAN NAN
MEMIKAT
Di
kamar ini terdapat replika lukisan Pangeran Diponegoro yang dilukis oleh
Adrianus Johannes (A.J Bik), Sang Pangeran tampak mengenakan pakaian “utama”
yang ia pakai selama Perang Jawa, yang terdiri dari sorban, baju koko tanpa
kerah, dan jubah. Sehelai selempang tersampir di bahan kanan, dan keris
pusakanya, Kanjeng Kiai Ageng Bondoyudo (Sripaduka Petarung Tanpa Senjata)
terselip pada ikat pinggang yang terbuat dari bahan sutera berbunga-bunga.
Pipinya yang agak cekung itu yang menonjolkan tulang pipinya yang tinggi,
merupakan akibat serangan malaria yang ia derita sejak berkelana di hutan-hutan
Bagelan dan Banyumas pada masa akhir perang.
![]() |
Adrianus Johannes (A.J Bik) pelukis Diponegoro |
Walapun
hanya sebuah replika lukisan, tetapi buat saya saat memandangnya lebih lekat,
sempat membuat bulu kuduk saya meremang seakan menyeret ke masa lalu kehidupan
Sang Pangeran, entahlah saya merasa lukisan tersebut seolah-olah mempunyai daya
tarik tersendiri untuk di selami.
PEMBUANGAN PANGERAN DIPONEGORO
Tanggal
28 Maret – 5 April 1830, Diponegoro ditangkap ketika sedang berunding dengan
Jenderal de Kock di Magelang. Setelahnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia.
Kemudian
tanggal 5 – 8 April 1930 Diponegoro dengan menggunakan kapal laut dari Semarang
di bawa ke Batavia.
Selanjutnya
tanggal 8 April – 3 Mei 1830, Sang Pangeran di tawan di Stadhuis (ketika itu
merupakan Balaikota Batavia dan kini menjadi Museum Sejarah
Jakarta/Fatahillah).
Tanggal
3 Mei-12 Juni 1830 Diponegoro di bawa naik Kapal Pollax untuk dibawa ke Menado.
Setelah
sampai di Menado tanggal 12 Juni 1830 – 20 Juni 1833, Sang Pangeran tinggal di
Benteng Fort Nieuw Amsterdam di Manado.
Dan
tanggal 12 Juli 1833 – 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro tinggal di Benteng
Fort Rotterdam di Makasar, hingga beliau wafat.
GORESAN TANGAN RADEN SALEH MEMANCARKAN KEKAGUMAN
Pangeran Diponegoro berdiri di depan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di
depan bangunan milik pimpinan kolonial. Ia mengenakan sebuah sorban
hijau, jubah putih dan celana, dan sebuah jaket, mengikatkan pinggangnya dengan ikat
pinggang emas, memegang tasbih, dan menggalungkan punggungnya
dengan syal. Ia tampak sedang menahan kemarahannya sebagai
sebuah tindakan lazim dari priyayi sementara orang-orang Eropa
digambarkan bermata tajam dan tidak saling bertatap muka.
De Kock, sang
penangkap, berdiri di kiri Diponegoro, pada tingkat yang sama dengan gerilya tersebut. Bagian paling kiri adalah para
perwira Belanda, yang diidentifikasikan oleh sejarawan dan biografer
Diponegoro Peter Carey. sebagai
Kolonel Louis du Perr, Letkol W.A. Roest, dan Mayor-Ajudan Francois Victor
Henri Antoine Ridder de Stuer. Di kanan pangeran, berdiri seorang pria Jawa
yang diidentifikasikan oleh Carey sebagai putra Diponegoro, Diponegoro Muda,
bersebelahan dengan Residen Kedu Franciscus
Gerardus Valck, Mayor Johan Jacob Perié, dan Kapten Johan Jacob Roeps. Di
kaki Diponegoro, seorang wanita diyakini istrinya Raden Ayu Retnaningsih
berusaha untuk memegangnya.
Pemandangan dari timur laut menampilkan
sebuah pemandangan yang masih pagi hari, dengan tanpa angin, dan terpusat pada
Diponegoro. Raden Saleh memberikan kedalaman bidang pada lukisan tersebut, menampilkan para
prajurit salihat berdekatan pada bagian depan secara jelas, sementara
menyamarkan detail-detail dari orang-orang di barisan
belakang.
Kepala-kepala orang Belanda digambarkan tampak lebih besar
ketimbang badan mereka, sementara para prajurit Jawa digambarkan dalam
keadaan wajar. Pelukisnya, Raden Saleh, mencantumkan dirinya sendiri dalam lukisan
tersebut sebanyak dua kali : sebagai seorang prajurit yang menunduk kepada
pemimpin yang menangkapnya, dan sebagai seorang prajurit yang menghadap ke arah
penonton. {sumber
wikipedia}
![]() |
saatnya gue POSE ....... |
Kurator
Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada sekitar tahun 1856-1857
berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya
itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada tahun 1978,
Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.
Saya
pernah berkesempatan melihat lukisan asli karya maestro pelopor seni lukis modern
Indonesia Raden
Saleh Syarif Bustaman, pada saat Galeri Nasional mengelar pameran lukisan Istana 3
tahun lalu, sungguh sebuah maha karya yang luar biasa mempesona buat seorang
pelukis di jaman itu.
AKHIR NAPAK TILAS
Senja
mulai meredup pertanda napak tilas harus segera berakhir seiring dengan
berakhirnya jam berkunjung Museum Sejarah Jakarta. Kami pun mulai bergegas
meninggalkan lokasi sambil tak lupa berkumpul untuk diabadikan bersama, buat mengenang pernah mengikuti Napak Tilas Pangeran Diponegoro bersama KJB.
Kegiatan jelajah seperti ini merupakan ajang berkumpul dan
bersillahturahmi bersama dengan para sahabat untuk mini reunian, ada yang baru
ikutan bergabung dan ada pula munculnya sahabat lama yang muncul kembali, maka
ajang foto-foto itu pun tak kan pernah terlewatkan...... yuhuuuuu
SYUKURAN KECIL
Setelah
acara Napak Tilas Pangeran Diponegoro berakhir, masih ada acara special yakni
syukuran atas di terimanya Penghargaan Sartono Kartodirjo yang di raih oleh
Komunitas Jelajah Budaya, dengan menyisihkan sekitar 30-an komunitas yang masuk
dalam kategori penjurian oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan
Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemilik
komunitas Bapak Kartum Setiawan dalam sambutannya berucap syukur kepada Allah
dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada para sahabat KJB yang
telah berperan serta atas di terimanya penghargaan ini.
Selama
tahun 2018 Para Penggiat Kesejarahan
yang diberi Penghargaan Sartono Kartodirdjo Award tentu telah mengalami seleksi
yang sangat ketat sebelum ditentukan pemenangnya. Penghargaan diterima oleh KJB
bersamaan dengan Seminar Sejarah Nasional (SSN) di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta pada tanggal 3 Desember 2018.
Tentu
saya pribadi sebagai salah satu anggota KJB turut berbangga hati atas di terimanya
Penghargan Sartono Kartodirdjo Award, semoga di tahun depan KJB semakin giat
lagi dalam melaksanakan kegiatan jelajah ke tempat-tempat bersejarah, situs, dan cagar-cagar budaya yang ada si
seluruh pelosok Indonesia, aamiin.
NARASUMBER ISTIMEWA
Napak
Tilas Diponegoro kali ini merupakan napak tilas yang istimewa, mengapa istimewa
karena narasumber yang dihadirkan kali ini ada Warga Negara Asing bernama Peter Carey seorang sejarawan Inggris
yang konon telah 40 tahun melakukan penelitian tentang Pangeran Diponegoro
dengan latar belakang Perang Diponegoro.
Sir
Carey sendiri berpenampilan sederhana namun bersahaja sore itu, walaupun
usianya tidak lagi muda tetapi roman muka ketampanan beliau terukir jelas di guratan
wajahnya, pantesan para sahabat KJB perempuan sangat histeria dan
terkagum-kagum selama penjelajahan berlangsung hingga berlanjut bapper ke group
WA...... hehehe
Yang
pasti beliau seorang yang smart, hangat, dan welcome kepada orang yang
menyapanya. Dengan aksen Inggris nya yang kental bak kita sedang menonton film-film James Bond...... hehehehe. Sayang saya tidak mengikuti napak tilas tertanggal 10-11 November
2018 lalu, sehingga saya tidak bisa menggambarkan secara detail tentang beliau
secara pribadi.
Yang pasti saya merasa bangga bahwa seorang WNA bersedia mengorbankan dirinya untuk mengadakan riset meneliti tokoh Perang Jawa yang sangat fenomenal Pangeran Diponegoro. Napak tilas kali ini adalah penghunjung akhir di tahun 2018 dan atas permintaan para anggota KJB untuk menuntaskan Sejarah Diponegoro hingga puncaknya, KJB tahun 2019 di harapkan untuk mengadakan jelajah menuju Makasar untuk berziarah dan mengenang kembali Sang Legenda Perang Jawa Pangeran Diponegoro.
Yang pasti saya merasa bangga bahwa seorang WNA bersedia mengorbankan dirinya untuk mengadakan riset meneliti tokoh Perang Jawa yang sangat fenomenal Pangeran Diponegoro. Napak tilas kali ini adalah penghunjung akhir di tahun 2018 dan atas permintaan para anggota KJB untuk menuntaskan Sejarah Diponegoro hingga puncaknya, KJB tahun 2019 di harapkan untuk mengadakan jelajah menuju Makasar untuk berziarah dan mengenang kembali Sang Legenda Perang Jawa Pangeran Diponegoro.
SEMPAT MENGALAMI DILEMA
Saat
menuliskan Catatan Perjalanan sungguh hal sangat berat buat saya, selain gue
seorang yang smart...... hahahahaha, saya harus menyimak narasumber dengan baik, membaca
beberapa artikel dan referensi tentang Diponegoro, karena ini menyangkut
seorang tokoh Perang Jawa yang sudah sangat legend, tentu saya harus lebih
serius dalam mengulasnya, tidak bisa asal menulis tanpa adanya sumber yang
jelas, dan apa yang saya tuliskan tersebut diatas hanya sekilas dari sejarah perjalanan hidup Diponegoro yang sangat panjang untuk di tuturkan.
Memang
yang namanya sejarah itu banyak versi yang beredar, satu sama lain bisa berbeda, hal
ini yang membuat saya sempat dilema saat menuliskannya dalam blog, karena saya sendiri tidak bisa 100% menyimak keterangan narasumber.
Jujur ini merupakan blog terberat yang saya alami selama saya menulis, tadinya mau sejenak mengadakan interview dengan Sir Carey untuk menggali tentang alasan beliau mengadakan riset dan penelitian Sang Pangeran, namun sayang keterbatasan waktu yang menjadikan kendala saya belum bisa mendapatkan lebih banyak masukkan.
Jujur ini merupakan blog terberat yang saya alami selama saya menulis, tadinya mau sejenak mengadakan interview dengan Sir Carey untuk menggali tentang alasan beliau mengadakan riset dan penelitian Sang Pangeran, namun sayang keterbatasan waktu yang menjadikan kendala saya belum bisa mendapatkan lebih banyak masukkan.
Yang
pasti Napak Tilas Diponegoro memberikan arti dan beban tersendiri saat saya menulisnya,
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kartum Setiawan yang telah menyelenggarakan
napak tilas yang paling berkesan karena di adakan tidak cukup harus sekali. teriring salam hangat buat seluruh sahabat-sahabat KJB yang hadir sore itu, yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, yang pasti kalian luar biasa, sampai jumpa di
acara jelajah selanjutnya di tahun 2019...... yuhaaaaa
Komentar
Posting Komentar