MENGENAL BATIK SEBAGAI PERADABAN BUDAYA BANGSA INDONESIA
Sore itu Kamis, 22 Maret 2018 di Gedung Perpustakaan
Nasional Jakarta saya berkesempatan menyimak acara bincang-bincang mengenai
Batik, yang di paparkan secara ringan jauh dari kesan formal oleh para
narasumber dari Majalah Nasional Geographic Indonesia, dipandu oleh Mahandis Yoanata Thamrin selaku
Managing Editor Nasional Geographic Indonesia mengambil tema NAPAS BATIK TIGA NEGERI, Riwayat Peranakan Cina dan Perkumpulan Rahasia.
Adalah Agni Malagina seorang
Peneliti Budaya Cina yang jatuh cinta dengan batik khususnya Batik Tiga Negeri,
walaupun batik sendiri sudah sering di ulas tetapi bagi Agni batik itu tetap
menarik dan meninggalkan kesan mendalam sehingga masih harus di ulik lagi
hingga bathinnya bisa terpuaskan, hingga Agni sampai beberapa kali datang ke
Lasem, Pekalongan dan Solo demi wujudkan rasa penasaran akan Batik Tiga Negeri
ini. Dengan dibantu oleh seorang juru photo andalan Feri Latief, mereka berburu dengan menggunakan mobil dari Jakarta
untuk bertemu pemilik asli dari Batik Tiga Negeri di Lasem yang bernama Opa Tjoa begitu Agni memanggilnya.
Kota Lasem sendiri memang masih ada yang menghasilkan Batik Tiga Negeri, dari kota Pekalongan saat ini hanya tinggal 2 (dua) orang pengerajin dan yang memilukan adalah di kota Solo keberadaan Batik Tiga Negeri sudah punah tidak ada lagi pembuatnya, ini sangat miris dan tragis sebagai salah satu sentra industri batik justru keberadaan jenis batik ini sudah tidak ada lagi pembuatnya.
Dari perbincangan sore itu akhirnya saya mengetahui makna
dari Batik Tiga Negeri, merupakan perpaduan warna dalam selembar kain yang
berasal dari tiga daerah, warna merah berasal dari Kota Lasem, warna biru
berasal dari Kota Pekalongan dan warna sogan berasal dari Kota Solo.
Selembar kain batik bisa berkisah tentang sebuah makna
kehidupan, dengan cara melihat dari goresan tangan Sang Pengerajin kita bisa membaca cerita bagaimana hidup itu di lukiskan dalam selembar kain. Motif, corak
dan warna yang tertuang dalam selembar kain bisa mengandung arti filosofi
sebuah nilai kehidupan. Kerapihan dan kehalusan dari selembar kain batik
merupakan cerminan Sang Pengerajin saat memainkan goresan canting diatas kain,
semakin kecil diameter lubang canting yang dipakai maka semakin prima kwalitas
batik yang dihasilkan.
Kini keberadaan Sang Pengerajin perlahan mulai meredup menuju arah kematian. Karena generasi kini lebih menyukai bekerja di pabrik dari pada membatik. Dalam kesempatan sore itu seorang kolektor batik bernama Dave Tjoa memperlihatkan 5 (lima) lembar kain Koleksi Batik Tiga Negerinya yang amat cantik dan menarik, milik leluhurnya yang kini telah langka di pasaran, koleksi ke 5 (lima) batik tersebut :
1. Kain Kemben, keluaran Tjoa Giok Tjiam,
diproduksi tahun 1920-1940, motif Buketan Bunga Krisan dan Burung Gelatik.
2. Kain Panjang Pagi Sore, keluaran Tjoa Tjoen
Tjian (generasi kedua), di produksi tahun 1940-1950, motif Buketan Bunga Honje,
Burung Bangau, Angsa, Kupu dan Walet.
3. Kain Panjang Pagi Sore, keluaran Tjoa Tjoen
Kiat, di produksi tahun 1940-1950, motif Buketan Bunga Peoni, Sakura, Kupu dan
Burung.
4. Kain Panjang Pagi Sore, keluaran ToToT (Tjoa
Thoen Tiang), di produksi tahun 1940-1950, motif Buketan Bunga Dadovil, Sakura,
Burung Gelatik, Ayam dan Kupu.
5. Kain Panjang Pagi Sore, keluaran Ni. Sie
Djien Soen (Generasi Ketiga), diproduksi tahun 1950-1960, motif Buketan Bunga
Matahari dan Burung Klau Raja.
Dijaman dahulu kala hanya orang-orang kaya yang mengenakan
kain, karena memang di jaman itu kehidupan sangatlah susah, dari pada membeli
kain lebih baik uangnya buat membeli makanan. Hanya para priyayi dan kaum
bangsawan yang bisa menggunakan kain dengan kwalitas prima, terutama Kain
Panjang dengan motif Pagi Sore (dua muka), bila pagi mereka bisa menggunakan
kain tersebut dan sore harinya kain tersebut bisa di gunakan lagi tetapi dengan
cara di balik.
Filosofi yang terkandung dalam setiap lembar
kain batik mempunyai makna bahkan bisa bersifat misteri, jika kita
mempelajarinya secara mendalam, semakin membuat kita penasaran akan arti selembar
kain bermotif yang diberi nama BATIK.
Batik Tiga Negeri sendiri tidak harus dari kota Lasem,
Pekalongan dan Solo, tetapi di daerah lain pun ada batik tiga negeri tentu
dengan ciri khasnya masingmasing misalnya di Jawa Barat pun ada Batik Tiga
Negeri. Kini keberadaan batik tiga negeri sudah mulai pudar menuju ke arah
kepunahan, mungkin generasi mendatang hanya akan mendengar cerita masa Kejayaan
Batik Tiga Negeri.
Berbicara mengenai Batik Tiga Negeri mengingatkan saya
akan kota kecil bernama Lasem yang pernah saya kunjungi pada tanggal 7 Mei 2017
lalu. Buat saya Lasem sangat unik dan menarik, kota kecil ini syarat makna,
unik karena peninggalan Budaya Peradaban Bangsa Tionghoa masih ada hingga kini.
Menariknya Keturunan Bangsa Tionghoa hidup rukun berdampingan dengan mesra
dengan Keturunan Pribumi Asli, mereka saling menjaga prinsip dan falsafah dalam
menjalankan hidup tanpa membedakan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Dan kunjungan
yang paling membekas hingga kini adalah Pondok Pesantren Kauman Lasem dan bertemu
dengan salah seorang santri bernama Muhammad Ali Fasya alias Muhammad Ari Basya,
karena Sang Abah tidak berada di tempat maka Sang Santri ini yang menemui kami,
dia menjawab dengan lugas bahwa itu amanat dari Abah Pesantren (salah satu
pengurus pesantren) memberikan pesan jika ada tamu berkunjung siapapun itu terimalah
tamu tersebut dengan baik. Ada kekaguman tersendiri dari seorang Abah pesantren
yang memberikan pesan moral kepada para santri-santrinya yang patut di
apresiasi, tentang menjaga kerukunan hidup antar perbedaan suku dan agama,
dimana hal ini selalu menjadi isu terpanas negeri yang akhirnya menimbulkan
gesekan dan rawan mengakibatkan kerusuhan besar, sehingga memicu panasnya suhu
politik yang terkadang membuat kita cemas beraktifitas, mengapa hal seperti ini
selalu terjadi. Tetapi tidak demikian dengan para santri di Pondok Pesantren
Kauman Lasem ini, bilamana ada orang Tionghoa yang meninggal dunia di sekitar
pondok, maka para santri ini wajib datang melayat dan mendoakan yang meninggal.
Hal yang patut untuk di apresiasi, pesan moral dari seorang pengasuh pondok
pesantren secara tidak langsung telah mengamalkan falsafah hidup dari
nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Hem... sungguh sebuah kota kecil
klasik nan menarik, hingga saya berkeinginan suatu saat ingin berkunjung lagi
ke kota ini, semoga....
Komentar
Posting Komentar