MENYAMPAIKAN STORY TELLING MELALUI MUSEUM

MUSEUM MULTATULI nan MINIMALIS

Halaman Depan Museum

Kemajuan suatu negara tidak terlepas dari peradaban masa lalu negara itu sendiri, bagaimana negara itu berproses hingga akhirnya berdiri menjadi sebuah negara yang ada hingga kini. Tentu semua itu melalui sebuah perjalanan panjang penuh makna untuk dituturkan secara lugas dan akan menjadi menarik manakala kita yang hidup di jaman sekarang masih bisa melihat peninggalan peradaban masa lalu berdirinya sebuah negara.

Cara pandang dan berpikir masyarakat kita sebagian besar kalau kita tanya tentang museum akan menjawab, tempat menyimpan benda antik jaman purbakala. Ada pula yang mengatakan usang, kuno nan berdebu lalu apa menariknya datang ke museum?

Itu cara pandang jaman old, bagaimana dengan jaman now? Kini banyak museum swasta tumbuh dan berkembang dengan berbagai koleksi, tidak melulu hanya menyimpan koleksi benda antik jaman purbakala, tetapi puisi, layang-layang, batik, foto, keramik, lukisan, mobil, dll bisa dijadikan museum.

Bagaimana cara membuat museum itu menarik untuk dijadikan tempat berlibur keluarga, tentu museum harus berbenah, merias diri secara cantik, menarik dan seelegan mungkin, sehingga masyarakat selalu ingin datang dan datang lagi. Museum harus berani tampil ekspresif dengan membuat sebuah acara yang sifatnya menarik dan bisa mengedukasi serta mengubah paradigma masyarakat, sehingga saat mereka pertama kali datang ke museum selalu ingin datang dan datang lagi.

Dan yang tidak boleh terlewatkan adalah Museum Jaman Now harus mempunyai lokasi yang instagramable untuk dijadikan sasaran selfie dan wefie, wadah yang penting bingiiit biar mereka tetap eksis untuk share status via medsos.

Stasiun Rangkasbitung


Sabtu 12 Mei 2018 lalu saya sengaja menyempatkan diri berkunjung ke Museum Multatuli Menggunakan commuter line berangkat dari Stasiun Rawabuntu jam 8.30 dan tiba di Stasiun Rangkasbitung jam 10.00. Stasiun Rangkasbitung ini termasuk stasiun yang padat aktifitas, karena sejak jalur KRL diberlakukan dari Rangkas menuju Tanah Abang maka bagi penumpang yang akan menuju Stasiun Merak harus menaiki kereta api dari stasiun ini. Suasana kian hinggar binggar karena letak stasiun yang dekat dengan pasar, pedagang kaki lima yang menggelar lapaknya sepanjang jalan stasiun menuju pasar, ditambah dengan ojek, angkot dan becak yang mangkal sepanjang stasiun menambah kian semrawut jalanan. Tentu bukan kondisi yang nyaman bagi para pejalan kaki, kita kudu waspada diri kalau mau aman.

Pagi beranjak siang setibanya di Stasiun Rangkas saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju Museum Multatuli, karena saya sudah mencari informasi menuju museum jaraknya tidak terlalu jauh sekitar 1 km lebih atau sekitar + 15 s/d 20 menit jika jalan kaki dengan langkah ringan. Kalau mau tidak capek kita bisa naik angkot, ojek ataupun becak tetapi saya memutuskan jalan kaki saja sembari melihat-liat kondisi pasar dan suasana Kota Rangkas, sembari mengetuk diri sendiri menyelam di kedalaman 50 M untuk pertama kalinya saja saya berani masak iya sich jalan kaki sejauh 1 km saya tidak kuat.......hehehehe. Apalagi gue termasuk cewe dengan kategori yang tidak takut : akan cuaca panas, kulitnya hitam, kesasar, atau menemui hal-hal yang sifatnya tidak nyaman, karena disitulah saya belajar hidup dan berusaha mengatasi masalah yang tiba-tiba muncul tanpa kita harapkan...... caeilah sok tegar dan kuat ye kesannya getu.......hahaha.




Menyusuri jalanan Kota Rangkas menuju alun-alun di tengah teriknya Sang Bagaskara siang yang mulai tertawa lepas itu membuat saya berkeringat dengan cepat, tetapi saya nikmatinya sembari melihat-lihat situasi sekitar, ada deretan pertokoan ciri khas Kota Kabupaten pada umumnya, terdapat pula dua nama mini market yang kondang nan melegenda dengan letak yang saling tidak berjauhan, pedagang kaki lima dengan aneka makanan dan minuman yang menempati posisi badan jalan, perkantoran, sekolahan, tempat ibadah, sayang memang penataan kotanya masih semwarut tidak rapi apalagi bersih.

Menjelang sekitar 500 M mendekati alun-alun kondisi jalanan terlihat lebih ramah dan teduh, terdapat trotoar yang dipinggir sisi jalan ditumbuhi pohon-pohan besar membuat suasana agak adem ditengah panasnya udara dan debu jalanan. Terhenti sejenak di depan Lembaga Pemasyarakatan Rangkasbitung yang ternyata masuk dalam kategori Cagar Budaya, sekedar mengambil gambar dan melanjutkan langkah menuju lokasi.

Tidak jauh dari Rutan terbaca dengan jelas tulisan Alun-Alun Rangkasbitung ...... yuhuuuu itu artinya sebentar lagi saya sampai di tempat tujuan. Ini merupakan kunjungan saya yang kedua, sebelumnya di tanggal 9 Desember 2017 lalu barengan dengan gerombolan cewe-cewe tangguh nan gagah perkasa.......hehehehe (Mba Ida Farida, Ida Maryana, Kaka Tjatur, Uni Nani, Eda Sondang dan Eda Vera) yang hobby pecicilan sudah ke kota ini, mengeksplor sebagian kecil dari Kota Rangkas dan sekitarnya yang dimulai dari naik commuter line, jalan kaki hingga carter angkot.

Siapa itu Multatuli......???

Multatuli atau Eduard Douwes Dekker

Sebelum menjelajah museum ada baiknya saya ulas sedikit siapa itu Multatuli. Multatuli atau Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820 saat datang ke Pulau Jawa usianya 48 tahun dengan membawa serta istri dan satu anak lelaki. Pada 1839 setahun setelah sampai di Batavia, Eduard Douwes Dekker mendapat pekerjaan sebagai ambtenaar/krek di kantor Pengawasan Keuangan. Karirnya sebagai pegawai negeri berlanjut dengan kepindahannya ke Natal, Sumatera Barat sebagai kontrolir. 

Setelah kepindahan tugas dari Manado, Purworejo hingga menduduki jabatan kedua tertinggi sebagai asisten residen  di Ambon, pada 21 Januari 1858 Eduard Douwes Dekker menginjakkan kaki di Lebak Banten sebagai aisten residen. Bertugas menagawasi kinerja bupati di daerahnya. 

Multatuli bersinggungan dengan bupati Adipati Kartanata Nagara yang dianggapnya di manfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mereguk keuntungan dari daerah jajahannya. Hal ini di rasa tidak serasi dengan kata Eduard Douwes Dekker dan tidak sejalan dengan semboyan revolusi Prancis Liberte, Egalite dan Fraternite yang memandang manusia itu memiliki kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.

Eduard Douwes Dekker melaporkan hasil temuannya kepada atasannya residen Banten, Berst van Kempen. Namun lapornnya di abaikan. Rasa kecewa dan perlawanan dari dalam jiwanya membuat Eduard Douwes Dekker pulang ke Belanda dan melahirkan Max Havelaar dengan nama pena Multatuli, yang menuliskan semua perasaan dan temuannya di Lebak dengan membuat buku fenomenal yang diberi judul Max Havelaar.


Sambutan Hangat di Museum Multatuli

Begitu saya sampai di beranda museum di sambut hangat oleh penjaga, dipersilahkan untuk mengisi buku tamu, saat saya menanyakan tiket masuknya dijawab free of cash......wajah gue langsung berbinar-binar cling... cling.....mendengar kata gretong.......... yuhuuuuuu. Oleh penjaga museum  ditawarkan mau di pandu atau tidak...? berhubung gue rada kepo dan suka penasaran soal sejarah dari pada menerka-nerka ngitung kancing baju dan berimajinasi tak jelas serta sotoy dengan sigap gue jawab di pandu....!

Siang itu Kang Aip menjadi guide saya, dengan ramah dia menerangkan awal mula berdirinya Museum Multatuli ini, butuh waktu 3 (tiga) tahun lamanya untuk menyakinkan pihak Pemda setempat agar tempat ini bisa menjadi museum, berdirinya museum ini sendiri sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan tokoh masyakarat dan instansi terkait kenapa harus diberikan nama Museum Multatuli orang Belanda yang pernah menjajah kita hingga ratusan tahun lamanya. Tetapi karena Multatuli sendiri punya pengaruh besar di negeri ini salah satunya adalah dia tidak menyetujui adanya tanam paksa terhadap pribumi, sehingga boleh dikatakan seorang Multatuli menghkianati bangsanya sendiri.
 
Bersama Kang Ubai Pimpinan Museum Multatuli

Penolakan tersebut tidak menyurutkan menginginkan dari Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, Ubaidillah Muchtar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kang Ubai berjuang meyakinkan para tokoh masyarakat dan instansi terkait agar museum ini bisa berdiri, alhamdulilah perjuangan Kang Ubai beserta rekan-rekannya tidak sia-sia, pada tahun 2016 lokasi ini di renovasi selama kurang lebih 2,5 tahun lamaya dan pada tanggal 11 Februari 2018 lalu Museum Multatuli resmi berdiri. Masyarakat Rangkasbitung harus bangga mempunyai sebuah museum sejarah yang begitu fenomenal yang bercerita tentang seorang Belanda yang bernama Multatuli dan perjuangan rakyat Lebak melawan Penjajah.

MUSEUM nan MINIMALIS

Halaman Belakang Museum

Memasuki kawasan museum suasananya teduh dan adem karena terdapat pepohonan besar di sekitar museum membuat udara lebih bersahabat di teriknya senyum lebar sang mentari. Kita bisa bersantai sejenak melepaskan penat di pendopo museum yang cukup luas dan dingin sembari menikmati hembusan bayu semilir siang itu .....aahhhh sejuknya.

Museum Multatuli terletak di Jl. Alun-Alun No. 8, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten 42312. Menempati area seluas 1.842 M2  terletak di sudut jalan dan depan alun-alun Rangkasbitung, sebelum  menjadi museum dilokasi ini dahulunya adalah Kantor Kawedanan yang sudah berdiri sejak tahun tahun 1838. Pembangunan gedung ini sendiri sudah dimulai sejak tahun 1923, dimana waktu itu dipergunakan sebagai tempat tinggal sekaligus kantor dari Wedana Lebak.
 
Halaman Samping Museum


Dari segi bangunan museum ini sangat minimalis tetapi justru itu yang menjadi daya tarik dari museum ini, arsitektur bangunannya bergaya klasik Europa tempo dulu sebagaimana nampak pada pintu dan jendela serta balok-balok penyangga tiang. Walaupun bangunan museum sendiri tergolong minimalis tetapi kita masih bisa melihat sebagian besar bangunan museum masih original seperti dinding, pintu, jendela serta koleksi museum yang lansung di datangkan dari Negeri Belanda yaitu ubin. Daya tarik lain dari museum ini adalah merupakan Museum Antikolonial pertama dan satu-satunya di Indonesia. Meskipun museum ini bernama Museum Multatuli tetapi tidak semua di museum ini mengkisahkan tentang sejarah seorang Multatuli, lantas apa saja yang ada dalam museum, yuk kita jelajah satu persatu di mulai dari :

Ruangan Pertama
Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia

Sesaat kita usai mengisi buku tamu begitu melangkahkan kaki akan terliat gambar Multatuli yang berseni dan artistik karena terbuat dari pecahan kaca sejumlah 153, tetapi angka 153 ini tidak mengandung filosofi apapun hanya memang pas membutuhkan 153 pecahan kaca saat dibuatnya. Dan yang membuat saya takjub adalah slogan yang terdapat di sebelah gambar Multatuli : “Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia”, saya pribadi memfilosofikan slogan tersebut kita manusia hendaklah berbuat baik dengan sesama manusia tidak perlu memandang perbedaan suku, ras, agama dan antar golongan.
Nah yang pada hobby narsiiiiiis sempatkan PoSe di sini ya, karena iconik bingiiiit replika Multatuli yang terbuat dari pecahan kaca menimbulkan efek bling-bling dalam pencahayaan nan tepat.

Ruangan Kedua

Di ruangan ini kita bisa melihat sejarah datangnya kolonialisme ke Indonesia yang divisualkan dalam bentuk cerita sekitar kurang lebih 2 (dua) menit. Tidak banyak yang kita bisa lihat di ruangan ini selain audio visual dan replika kapal, tetapi buat saya daya tarik dari ruangan ini adalah adanya replika kapal yang pernah digunakan oleh Bangsa Kumpeni pada saat bersandar di Batavia yang dinamakan De Batavia.




Membayangkan desain kapal yang begitu bagusnya di jaman itu sungguh arsitektur yang luar biasa hebatnya dalam membuatnya, kapal-kapal tersebut terbuat dari kayu yang di desain sangat detail dan rapi akan membuat kagum bagi yang melihatnya. Kapal-kapal tersebut masing-masing mempunyai nama, mungkin nama-nama yang disematkan adalah nama arsitek dari kapal tersebut saya hanya mengira saja, seperti :




Halve Maan
Kapal ini berukuran lebih kecil, jenis yacht. Diproduksi di sebuah galangan kapal di Amterdam pada tahun 1608. Setahun berikutnya, kapal ini mulai berlayar dan pernah digunakan Henry Hudson, seorang berkebangsaan Inggris yang bekerja untuk VOC, saat menemukan New Amsterdam, yang sekarang menjadi kota New York, Amerika Serikat. Kapal ini berdimensi panjang sekitar 21 meter, berkapasitas angkut 40 ton, jumlah awak 15 hingga 20 orang. Pada bulan Desember 1618, Halve Maan dibakar oleh orang Inggris dalam serangan ke Batavia.




Prins Willem
Prins Willem diproduksi pada tahun 1650 di galangan milik VOC di Middelburg. Kapal ini memiliki dimensi panjang 181 kaki dan lebar 14,32 meter. Beban angkut kapal Prince Willem cukup besar : 1200 ton, dan termasuk dalam jenis kapal spiegelretoruschip. Kapal ini pertama kali berlayar ke India pada tahun 1951. Selain memiliki daya angkut yang besar, kapal ini dilengkapi dengan 40 senjata. Kapal Prins Willem juga turut dalam perang laut Belanda melawan Inggris pada tahun 1652 hingga 1654. Pada tahun 1661, kapal ini termasuk dalam armada yang berangkat ke Hindia Belanda, namun diterpa badai di Samudera Hindia dan mengalami kerusakan di daerah St. Brandon, Madagaskar.



De Ruyten
De Ruyten dibuat pada tahun 1749, di sebuah galangan VOC di kota Amsterdam, Belanda. Kapal ini termasuk besar, dengan panjang 45 meter. Daya angkut De Ruyter mencapai 1.150 ton, dengan 258 hingga 357 awak kapal. Kapal ini mulai pelayaran pertamanya pada tahun 1754 menuju Kanton, Cina. Kapal ini digunakan VOC hingga 6 Januari 1773, kemudian dijual.


Ruangan Ketiga
Peta Tanam Paksa Perkebunan Kopi di Pulau Jawa

Kalau saya tidak salah ingat ini ada ruangan Tanam Paksa yang dilakukan oleh kumpeni kepada pribumi Indonesia. Di ruangan ini terdapat Peta Tanam Paksa di Pulau Jawa yang membentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur lokasi tanam paksa perkebunan kopi. Dimana dalam kurun waktu 10 tahun (1830 s/d 1840) 18 Karesidenan yang terdapat di Pulau Jawa tergabung dalam sistem tanam paksa kopi, terkecuali Karesidenan Batavia.


Sejak Abad ke 17 Kongsi Dagang Belanda di Timur (VOC) sudah terlibat perdagangan kopi di Teluk Persia dan Laut Merah. Bibit kopi pertama dibawa VOC dari Malabar, India Selatan ke Jawa pada akhir abad 17 dan mulai dibudidayakan sejak abad 18. Pada 1706, De Heeren Zeventien (tujuh Belas Tuan Komisaris VOC) yang berkedudukan di Belanda menerima segenggam biji kopi pertama hasil panen di Jawa.

Pada 1707 Gubernur Jenderal Hindia Belanda mebagi-bagikan bibit kepada para bupati yang berkuasa di setiap daerah di sepanjang pantai utara jawa, mulai Batavia sampai Cirebon. Namun budidaya tersebut gagal karena kopi tak bisa tumbuh baik di dataran rendah. Penanaman kopi pindah ke wilayah pedalaman yang berbukit. Pada 1711 Bupati Cianjur menyerahkan setoran kopi pertama kepada VOC dan dia menerima harga 50 gulden perpikul atas setorannya.

Untuk masa selanjutnya, pembudidayaan kopi dilakukan di dataran tinggi Priangan, membuat daerah tersebut menjadi lumbung kopi VOC. Berkat kerjasama VOC dengan para kepala daerah serta cara pembudidayaan kopi yang sederhana dan rendah biaya, pada 1726 hampir separuh lebih pasokan kopi dunia dipenuhi oleh VOC. Sebagian besar jumlah tersebut dihasilkan dari kebun kopi di Priangan. (Sumber : Jon Breman : Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa).

Ke 18 wilayah karesidenan tersebut di mulai dari Banten, Priangan, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Kedu, Bagelen, Banyumas, Surabaya, Pasuruan, Pacitan, Madiun, Kediri dan Besuki. Untuk jumlah produksi kopi terbesar di Jawa Barat ada di Karesidenan Priangan, di Jawa Tengah terdapat di Karesidenan Kedu dan di Jawa Timur terdapat di Karesidenan Besuki.

Ruangan Keempat

Di ruangan ini kita dapat melihat foto Multatuli dalam bentuk Litografi (suatu cara pencetakan lukisan/foto dengan memindahkan bayangan lukisan/foto diatas cetakan) dan foto-foto Pahlawan Nasional serta tokoh masyarakat yang berpendapat tentang Multatuli.

Kartini (1879-1904) : Max Havelaar aku punya karena aku sangat, sangat suka pada Multatuli (Sumber : Panggil aku Kartini saja).

Sukarno (1901-1970) : Dan tidakkah “kena” sekali perbandingannya Multatuli yang membandingkan “cultuur-stelsel” itu dengan suatu kumpulan pipa-pipa... yang masing-masing masuk di dalam dadanya milliunan-milliunan orang Jawa... tiap-tiap pengejar untung bolehlah masuk di dalam semua pipa dan bolehlah mengerjakan ia punya mesin sendiri mempompa sumber itu. (Sumber : Indonesia menggugat, pidato pembelaan Ir. Sukarno di hadapan hakim kolonial Pengadilan Bandung 1970).

Ahmad Subardjo (1896-1978) : karangan Max Havelaar menyentuh lubuk hatiku. Aku turut merasakan ketidakadilan terhadap rakyat yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dari bangsanya sendiri dan tuan-tuan besar Belanda. Aku merasa muak setiap aku melihat perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah. (Sumber : Kesadaran Nasional Sebuah Otobigrafi).

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) : Seorang politikus tidak pernah mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam, pertama karena dia tidak kenal sejarah Indonesia dan kedu karena dia tidak mengenal humanisme modern.

Jose Rizal (1861-1896) : Buku Multatuli yang akan saya kirim kepadamu begitu saya bisa memperolehnya satu eksemplar, luar biasa memikat. Tak pelak lagi buu ini jauh lebih unggul dari pada karya sendiri. (Sumber : Surat Jose Rizal kepada Ferdinand Blumentritt, 6 Desember 1888).

Di ruangan ini terdapat surat tulisan tangan dari Sukarno yang saat beliau sedang di asingkan oleh Belanda di Ende Nusa Tenggara Timur yang ditujukan kepada sahabatnya yang bernama Samuel Koperberg, Sekretaris Java Instituut dan salah satu tokoh dalam kepengerusan Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, sempalan ISDV)  :
Ende 27 September ‘35
Halo Sam,
Sobatku, aku kembali melihat sebuah tanda kehidupan. Kabar kami lumayan baik. Istri dan anakku merasa bosan tapi mereka dalam keadaan baik, mereka tetap tabah. Aku sibuk berkebun dan belajar, istriku mengurus pekerjaan rumah, dan membaca koran berbahasa Sunda, anak perempuanku sekarang duduk di kelas satu HBS, dan mengambil ilmu kuliner. Tapi tenang, ilmu tersebut bukan ilmu membuat kue atau grastonomi, hanya belajar membuat makanan khas Indonesia.
Namun, bisakah aku bayangkan, istri dan anakku acapkali dihantui rasa kesepian dan dan ketakutan; bayangkan, kami tidak pergi ke bioskop, tidak juga membaca majalah, ya,  tidak jarang ini menyakitkan. Jalanan di sini berdebu, alamnya amat panas. Kegembiraan bisa kamu peroleh ketika hari sudah gelap atau sebelum matahari terbit, saat dini hari. Kemudian buku menjadi mahal. Hal terakhir ini untukku adalah suatu titik nadir terendah. Aku sedang mengalami krisis keuangan. Jika buku tersebut agak mahal, tentu tiada kuasa lagi bagiku untuk membelinya.
Jika kamu ingin menggoda Pangeran Soerjodiningrat atau Ki Hadjar untukku, kamu harus menanyakan kepada mereka, mengapa mereka tak memiliki lakon Bima-Dewaruci dari kisah Mahabarata untukku. Kalau kamu berhasil membujuknya, kamu bisa memainkan lakon itu untukku. Dan tolong sampaikan pada mereka rasa terima kasih serta pengabektiku.
Buku Nis Peterson, Volk in Tweestrijd yang kamu berikan kepadaku sebagai kado, memberikanku pemahaman terhadap cara berpikir orang Irlandia. Telah sejak lama aku mendalami gerakan orang Irlandia itu. Aku bersimpati pada mereka, namun aku juga banyak menelan kekecewaan. Gerakan orang Irlandia sama dengan pergerakan nasionalisme murni, dari dan untuk rakyat. Aku tidak menyesal atau melihat ke belakang kata-kata “sosio-nasionalisme”. Dalam pergerakan orang Irlandia, sosio-nasionalisme hanya dapat ditemukan dengan suatu lentera ; De Valeza cs; Mirabeau modernnya.
Sekian bapak, cukup untuk hari ini. Salam dari istriku dan anakku (Omi masih selalu menyimpan buku yang dulu kau berikan padanya di lemari kecilnya), dan salam tos dariku.
Sudah hampir akhir September, museum kamu sudah dibuka. Yakinlah aku ikut berbahagia denganmu.

Ruangan Kelima

Di ruangan ini kita bisa membaca sejarah tentang revolusi Banten, gerakan pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda dan Belanda menyerah kepada Jepang :

Revolusi sosial di Banten tahun 1945-1946
Setelah proklamasi beberapa pemuda Jakarta datang ke Banten untuk menyampaikan berita kemerdekaan. Sebuah rapat umum atas prakarsa pemuda utusan beberapa golongan memutuskan untuk mengangkat K.H. Tb. Ahmad Chatib sebagai Residen Banten. Terjadi perselisihan anatara Ahmad Chatib dengan Tje mamat, seorang revolusioner yang mengingikan seluruh pejabat pamong prja yang dianggap sekutu Belanda di Banten diganti oleh pemimpin rakyat. Untuk itulah pada Oktober 1945 Tje Mamat mendirikan “Dewan rakyat” dan mengambil langkah sendiri untuk mewujudkan rencananya. Seluruh bupati yang ada di wilayah Banten diganti. Fenomena yang sama di Sumatera Timur dan di Karesidenan Pekalongan.

Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Setelah kekalahan Jepang atas sekutu tersiar luas, pada 16 Agustus 1945 sejumlah pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Setelah melalui perdebatan panas dan melelahkan di rumah Laksamana Maeda di Jakarta, semua sepakat bahwa pada 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta akan membacakan pengumuman kemerdekaan Indonesia. Pada pukul 10.00 pagi, teks proklamasi kemerdekaan dibacakan Sukarno. Dilanjutkan pengibaran bendera merah putih yang dijahit oleh Fatmawati dengan iringan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman.

Pemberontakan Haji Wakhia 1854
Haji Wakhia seorang kaya dari Gudang Batu, Serang yang Kerap melawan pemerintah kolonial. Pertempuran pamungkas terjadi pada 3 Mei 1854. Haji Wakhia dan Tubagus Ishak berhasil lolos dari penangkapan. Pada 1856 Haji Wakhia ditangkap dan dihukum mati.

Pemberontakan Nyimas Gamparan
Ia memimpin 30 milisi perempuan melawan Belanda sejak 1829 hingga era 1830-an. Nyimas Gamparan menolak sistem tanam paksaa. Ia menggelorakan perang melawan pemerintah kolonial Belanda di Jasinga, Cikande dan Balaraja. Perlawanannya berhasil dipadamkan oleh Demang Jasinga Raden Tumenggung Karta Natanegara. Jenazah Nyimas Gamparan dimakamkan di Tanjungsari, Pabuaran, Kabupaten Serang.

Pemberontakan Petani Banten 1888
Pemberontakan petani di cilegon, Banten dipimpin oleh Haji Wasid. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial itu didorong oleh kondisi rakyat yang semakin sulit karena tingginya beban pajak, kelaparan akibat gagal panen imbas dari meletusnya Gunung Krakatau 1883 dan keinginan untuk mendirikan kemabali Kesultanan Banten yang telah dihancurkan oleh kompeni. Pemberontakan dimulai 9 Juli 1888 dan berakhir 30 Juli 1888. Korban tewas di pihak pemerintah kolonial 17 orang dan luka-luka 7 orang. Di pihak pejuang Banten 30 orang tewas, 11 di antaranya dihukum gantung. 94 lainnya dibuang ke berbagai daerah di Hindia Belanda.

Berdirinya Sarekat Islam 1912
Sarekat Islam (SI) berdiri di Solo pada 1912, sebagawai wujud baru dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi 1905. SI kemudian membuka cabang di berbagai daerah. Sarekat Islam mendapat sambutan baik di Banten. Bahkan cabang-cabang SI sampai 1916 telah dibuka di Serang, Labuhan dan Rangkasbitung. Hassan Djajadiningrat menjadi pemimpin SI Banten. Setelah wafat pada 1920, perannya sebagai ketua digantikan oleh Haji Ahmad Chatib.

Berdirinya Boedi Oetomo 1908
Boedi Oetomo adalah organisasi modern pertama cikal bakal lahirnya gerakan perpahlawanan intelektual di Hindia Belanda. Pemantiknya adalah Wahidin Soedirohoesodho, seorang dokter Jawa. Ia menganjurkan pentingnya memajukan pendidikan bagi orang Jawa dengan berkeliling ceramah ke beberpa daerah termasuk ke Serang, Banten. Pada 20 Mei 1908 gagasan tersebut diwujudkan oleh Soetomo. Boedi Oetomo melahirkan beberapa tokoh penting dalam gerakan pembebasan Nasional Indonesia, salah satunya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.

Berdirinya Indische Partij
Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan pada 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai : Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Keanggotan Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa tanpa membedakan ras dan kelas sosial. Pada 1913 para pemimpin Indische Partij diusir dari Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial karena dianggap menghina pemerintah kolonial yang akan merayakan seabad kemerdekaan Belanda dari Perancis. Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam harian De Express berjudul Als ik Eens Nederlander Was (seandainya aku seorang Belanda) yang menyinggung perayaan tersebut. pada 13 Maret 1913 Indische Partij dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Kongres Nasional Sarekat Islam 1916
Setelah Sarekat Islam (SI) mendapatkan pengakuan badan hukum pada masa akhir pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg (1906-1916), SI mengadakan kongres nasional pertama di Bandung, Juni 1916. Kongres tersebut membentuk Central Sarekat Islam (CSI). CSI dibentuk sebagai federasi dari berbagai SI lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Inilah tonggak awal “wawasan nasional” SI yang mendorong terbentuknya cabang-cabang SI di berbagai daerah di Hindia Belanda. Salah satu cabang termaju di dalam gerakan tersebut ada di Semarang di bawah Semaun yang pengaruhnya cukup luas sampai ke Banten.

Penahanan Para Pemimpin Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki hak khusus yang disebut exorbitante rechten untuk menjaga keamanan dan ketertiban Hindia Belanda. Dengan hak itu Gubernur Jenderal bisa mengasingkan seseorang yang dianggap membahayakan baik di dalam wilayah kolonial (interneering) maupun ke luar wilayah (externeering). Satu per satu para pemimpin gerakan kemerdekaan diasingkan atau dibuang ke daerah terpencil, mulai Sukarno, Hatta, Sjahrir, dr. Tipto dan ribuan pejuang gerakan kemerdekaan lainnya.

Peristiwa Pemberontakan 1926
Pada 12 November 1926 pecah pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa tersebut terjadi secara sporadis di beberapa kota di Jawa dan Sumatera. Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 pelaku perlawanan yang ditangkap paska peristiwa 1926, sebanyak 1.300 orang diantaranya berasal dari banten. Pada peristiwa inilah pemerintaj kolonial memutuskan membuang seluruh pelaku ke Boven Digul di pedalaman Papua yang terkenal karena wabah malaria hitam yang mematikan. Padamasa pemerintahan Sukarno, seluruh tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut dinyatakan sebagai perintis kemerdekaan melalui Peraturan Presiden No. 15/1961.

Kedatangan Jepang dan runtuhnya Hindia Belanda
Invasi Jepang ke Hindia Belanda membuat jatuhnya kekuasaan kolonia. Bala tentara Jepang masuk ke Jawa melalui pesisir utara Banten, 1 Maret 1942. Pada 5 Maret 1942, pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Tjarda van Staekenborgh Stachouwer, menyeraj kepada Jepang. Minggu senja, 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jepang menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda, menandai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.

Ruangan Keenam
Eduard Douwes Dekker Berpidato di depan  para Kepala Lebak

Ruangan ini mengkisahkan sejarah dari rangkaian kronologis peristiwa penting di Lebak dan era purbakala, yang dimulai dari tahun :

1828 Terbentuknya Kabupaten Lebak
Berdasarkan surat keputusan Komisaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 Tahun 1828, wilayah karesidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yakni, Serang, Caringin dan Lebak. Penerbitan keputusan pada 2 Desember 1828 itu dijadikan tonggal awal lahirnya Kabupaten Lebak. Pengeran Sandjaja adalah pemimpin pertama Lebak sebelum penetapan ini.

1830 RTA Karta Natanegara
Lahir pada 1796. Semula Demang Jasinga, Bogor. Atas jasanya menagkap dan memadamkan pembrontakan Nyai Gamparan yang melawan pemerintah kolonial Belanda, Karta Natanegara diangkat menjadi Bupati Lebak. Dia berkuasa cukup lama dan dikenal dengan julukan “Bupati Sepuh”. “Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan”, kata Eduard Douwes Dekker dalam suarat kepada Gubernur jenderal van Twist yang urung dikirimnya. Karta Natanegara Wafat 1879.

1856 Pidato Perdana Eduard Douwes Dekker
Pada 22 Januari 1856, sehari setelah pengangkatannya sebagai asisten residen Lebak, Eduard Douwes Dekker Berpidato di depan depan para Kepala Lebak. “Tuan-tuan kepala negeri Banten Kidul, marilah kita bersukacita, bahwa daerah kita miskin sekali. Kita dapat melakukan sesuatu yang mulia,” demikian katanya.


Stasiun Rangkasbitung tahun 1900

 1900 – 1901 Kereta Batavia – Rangkasbitung – Sajira
Berdasarkan keputusan pemerintah 9 Januari 1901, pembukaan jalur kereta api yang menghubungkan Rangkasbitung – Muncang – Sajira dimulai pada pengujung 1901. Sebelumnya, 1 Juli 1900, jalur kereta api Batavia – Rangkasbitung sudah dibuka terlebih dahulu. (Bataviaasch Nieuwsblad 12 September 1901).


Para TKI yang di kirim ke Suriname

1829 – 1948 dari Lebak ke Suriname
Dalam kurun tahun 1890 sampai 1939 ada sekitar 30 ribu lebih tenaga kerja dari Jawa dikirim ke Suriname. Beberapa diantaranya berasal dari Lebak. Mereka diperkejakan sebagai buruh di perkebunan tebu. Sebagian dari mereka berhasil pulang, sebagian menetap dan sebagian lagi wafat jauh dari tanah tempat mereka dilahirkan. (Itu mengapa hingga kini banyak orang kita khususnya Suku Jawa yang tinggal di Suriname hingga kini).

Kisah Bupati Hardiwinangun
Sebelum menjabat sebagai Bupati Lebak, Raden Tumenggung Hardiwinangun bertugas sebagai Patih Indramayu. Pengumuman promosi kenaikan pangkatnya, 26 Januari 1939, tersiar di berbagai surat kabar, baik berbahasa Indonesia maupun Belanda. Pelantikannya pada 13 Agustus 1939 dihadiri Gubernur Jawa Barat L.G.C.A. van der Hoek J Ochtman. Pada 10 Desember 1945, saat Bung Karno dan Bung Hatta tiba di Rangkasbitung, Hardiwinangun diculik dan dibunuh oleh kelompok Dewan Rakyat, penggerak revolusi sosial di Banten.

Ruangan Ketujuh
Di ruangan ini terdapat foto dan tulisan dari para tokoh terkenal dalam bidang sastra dan pekerja seni, seperti sajak buah karya WS. Rendra yang berjudul : Sajak demi orang-orang Rangkasbitung

Saya telah menyaksikan
Bagaimana keadilan telah dikalahkan
Oleh para penguasa
Dengan gaya yang anggun
Dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka.

Dengan bahasa yang rapi
Mereka keluarkan keputusan-keputusan
Yang tidak adil terhadap rakyat.
serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang  kehilangan tanah dan ternaknya.

Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama.
Menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor
dan selalu berbicara,
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.


RUMAH MULTATULI
Beranda depan rumah dinas Multatuli

Mengeksplor kawasan museum usailah sudah tapi karena gue masih kepo soal Multatuli, hanya sedikit bahasan yang saya dapat soal dia di dalam museum, seperti saya tulis diatas walaupun museum ini dinamakan Museum Multatuli tetapi tidak membahas secara spesifik tentang Multatuli. Jadi saya ingin melihat peninggalan rumah dinas yang dahulu pernah di tempati oleh Multatuli dan keluarganya.

Letaknya agak berjauhan dari museum jika berjalan kaki sekitar kurang lebih 10 menit, jadilah saya di antar Kang Aip menuju lokasi di siang yang sangat terik dan tak bersahabat itu, tapi buat gue biar mentari sedang tertawa bahagia ora ngapak lah ya hajar bleh sebagai judul kian menambah keeksotisan kulit gue......... hahaha yang penting bisa melihat lokasi dan tak membuat penasaran.

Letaknya ada di halaman belakang Rumah Sakit Dokter Ajidarmo, jadi kita mesti memasuki kawasan rumah sakit terlebih dahulu untuk bisa melihat rumah ini,  setiap orang bisa masuk tanpa terkecuali karena rumah sakit termasuk arena atau kawasan umum.
 
Kondisi Rumah Dinas Multatuli saat ini

Tara..... begitu melihat rumah yang dimaksud kondisinya amat menyedihkan sekaligus memprihatinkan, tak terawat, berlantai tanah, sudah mulai keropos, atapnya sudah pada bolong, sebagai bangunan dalam kategori cagar budaya sangat miris bila dilihat kondisinya, orang awam tidak akan pernah tahu bahwa dahulu di rumah tersebut pernah tinggal seorang yang bernama Multatuli. 

Menurut keterangan Kang Aip bangunan asli yang masih di pertahankan dari rumah ini adalah pondasinya. Tetapi guys.... yang namanya sejarah itu banyak versi ada yang mengatakan bahwa lokasi rumah Multatuli bukan di situ letaknya, dahulu bangunannya terbuat dari kayu, dll entahlah mana yang benar.

Sebenarnya masih ada tempat yang ingin saya datangi namanya Kampung Ciseel namanya tetapi karena lokasinya cukup jauh masuk ke pedalaman Lebak dan jalan menuju ke sana masuk medan berat, jadi saya membatalkan kunjungan tersebut, lantas apa yang istimewa di Kampung Ciseel...? terdapat Taman Baca Multatuli yang berdiri sejak tahun 2009 yang digagas oleh Kang Ubai, di tempat ini kita bisa membaca buku Max Havelaar karya Multatuli, tetapi bukan hanya itu saya membayangkan asyiknya berkelana menyusuri alam pedalaman yang masih asri, sejuknya udara, gemericik suara air sungai, kicau burung, rindangnya pepohonan besar, bisa menyapa penduduk setempat untuk sekedar singgah dan bertukar cerita, serta melihat tawa gurau anak-anak kampung sedang bermain mainan tradisional...... ah berimajinasi dengan diri sendiri membayangkan suasana pedesaan nan teduh itu........ semoga suatu saat kelak saya bisa menginjakkan langkah kaki ke Kampung Ciseel. 

Dan kunjungan saya ke Rumah Multatuli menjadi akhir dari penjelajahan saya hari itu, berterima kasih kepada......
 
Kang Aip pemandu saya hari itu
Kang Aip  yang menjadi pemandu saya hari itu, perawakannya kurus dengan tinggi sedang, kulitnya sawo matang tua, berambut pendek, pembawaan ramah dan bicaranya tegas, seorang lulusan Fakultas Pertanian IPB yang suka dengan sejarah, begitu cinta mati dengan sejarah dia banting stir tidak mencari pekerjaan dengan bidang yang di pelajarinya di kampus, hingga akhirnya hati nurainya memutuskan untuk mengabdi di Museum Multatuli sebagai pemandu, bahkan bisnis berjualan galon air mineral dan gas di Depok  yang sudah lumayan omsetnya itu  di tinggalkannya. Saking cintanya sama sejarah dan sudan berkali-kali khatam membaca bukunya Multatuli.

Selama menjadi pemandu wisata suka dan duka terlalui dengan seiringnya waktu, suka adalah manakala banyak orang terutama siswa sekolah datang berkunjung ke museum dan belajar sejarah secara langsung, apalagi bila mereka antusias bertanya tentang banyak hal, itu adalah sesuatu yang membahagiakan bagi dirinya, duka adalah kala museum sepi tanpa pengunjung.

Baginya museum itu memang tidak perlu di buat terlalu detail dalam memaparkan kronologi sejarah, agar nantinya ada interaksi imbal balik antara pengunjung dengan pemandu itu, dengan begitu akan menjadikan meninggalkan kesan yang lebih mendalam bila terjadi interaksi.  Bagi Kang Aip dirinya akan menjadi berguna bilamana berkesempatkan menyampaikan sejarah menurut apa yang dia pahami atas pertanyaan-pertanyaan yang di sampaikan oleh para pengunjung, dari pada pengunjung hanya datang membaca narasi yang ada atau hanya sekedar foto-foto narsis sembari nikmati dinginnya ruangan museum, lalu apa fungsi dari seorang pemandu museum kalau begitu......??? dan gue setuju banget apa yang di sampaikan oleh Kang Aip, agar story telling yang disampaikan jauh lebih bermakna bagi kedua belah pihak bilamana interaksi itu terjadi.





Nah itu Catatan Perjalanan saya saat berkunjung ke Museum Multatuli, terus dari mana saya bisa menuliskan tentang sejarah tentang Multatuli dan yang lainnya....??? selain gue pinter......hahaha, yang pasti saya menyimak saat pemandu menerangkan, bertanya hal-hal yang ingin saya ketahui, membaca dan menuliskan kembali keterangan yang ada, dan membaca beberapa referensi on line.

Sangat menikmati dengan melakukan solo travelling untuk yang kesekian kalinya, berkesan dengan sambutan hangat dan bersahabat dari para pemandu museum, wawasan pengetahuan sejarah saya bertambah  karena  saya baru mengetahui, bahwa pada abad 17 dalam kurun waktu 10 tahun (1830 s/d 1840) di 18 Karesidenan di Pulau Jawa pernah ada tanam paksa kopi, karena  selama ini saya mengetahui para penjajah memaksakan para pribumi menanam paksa rempah-rempah dan tebu saja. Tentu saja saya masih ingin menjelajah dan menjelajah lagi ke tempat-tempat yang lebih unik dan eksotik. Teriring salam manis dari gue yang emang sudah maniiiis dari lahir.....yuhuuuuuu







Komentar

Postingan Populer