PARADIGMA WAYANG dalam POSTMODERNISME
WAYANG
KULIT DALAM
DIMENSI KEHIDUPAN
Jalan –jalan saya kali ini masih berlanjut di seputaran Kota Tua tepatnya di Museum Seni Rupa & Keramik, Gedung ini dibangun sebagai Lembaga Peradilan Belanda atau Raad van Justitie pada tanggal 21 Januari 1870. Pada masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dipergunakan sebagai Asrama Militer. Kemudian pada tahun 1967 ditempati Kantor Walikota Jakarta Barat. Setelah itu digunakan untuk kantor Kantor Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta sampai tahun 1975.
Tahun 1972 ditetapkan sebagai Bangunan Bersejarah yang dilindungi Undang-Undang Monumen (Monumentenordonantie STBL.1931 No. 238) dan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. CB.11/1/12/72. Tanggal 10 Januari 1972. Pada tanggal 20 Agustus 1976 diremikan sebagai Gedung BALAI SENI RUPA.
Dikesempatan kali ini ada Pameran Tunggal Lukisan
dengan tema Retro Speksi karya Lugiono Cokrowiharjo & Lukisan Wayang,
terdapat beberapa lukisan seperti pemandangan alam, bunga dan wayang,
sebagaimana kita tahu wayang telah di akui oleh UNESCO-PBB sebagai warisan
budaya bangsa Indonesia pada tahun 2003. Wayang sebagai "Karya Agung
Budaya Dunia" yang diakui oleh UNESCO bukan hanya wayang Jawa tapi wayang
Indonesia, termasuk wayang Bali, wayang golek Sunda, wayang Lombok, dll. Tapi
wayang yang lebih dikenal di Indonesia adalah wayang kulit Jawa. Selain wayang,
budaya Indonesia yang diakui sebagai “Karya Agung Budaya Dunia” oleh UNESCO
adalah Keris pada tahun 2005 dan Batik pada tahun 2009. Menurut saya wayang dapat mengambarkan
filosofi lelakon kehidupan dalam diri manusia dengan pengambaran tokoh-tokohnya
sesuai dengan karakternya masing-masing.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.
Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh
spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang
mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini
disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau
hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga
dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang
kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan
warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang
kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Wayang kulit
dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran,
perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang
kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing
berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu
dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan
bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada
dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja
dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh
seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku,
cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau
sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna
kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya
umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau
bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang
menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama
dibandingkan dengan yang bront.
Jenis-Jenis Wayang
Kulit Berdasar Daerah
· Wayang Kulit Gagrag
Jawa Timuran
· Wayang Bali
· Wayang Palembang
(Sumatera Selatan)
· Wayang Betawi
(Jakarta)
· Wayang Cirebon (Jawa
Barat)
· Wayang Madura (sudah
punah)
LUGIONO
COKROWIHARJO, kelahiran Yogyakarta, 10 Agustus 1953 adalah pelukis yang meminati banyak tema.
Tema-tema itu bisa ia tekuni dalam sebuah periode yang panjang, untuk kemudian
ia tinggalkan, dan lalu dihampiri lagi. Namun bisa pula ia mengharap banyak
tema dalam satu kurun secara seporadic. Dengan kerja yang kadang memerlukan
banyak titik konsentrasi tersebut ia merasa tak pernah kehilangan intensitas.
Karena
lukisan-lukisannya yang menggambarkan rumpun perdu, bunga atau reranting tetap
memiliki pesona, walaupun karya-karya semacam itu ia geluti sejak puluhan tahun
lalu.Pada kesempatan lain ia mengetengahkan tema-tema wayang. Tema ini
sesungguhnya pernah ia kerjakan pada dua dasa warsa lalu.
Namun
kemudian ia tinggalkan, meskipun dalam masa pemisahan itu tak jarang Lugiono
menjenguknya sekali-sekali. Lama tak direngkuh kerinduan muncul. Dan wayang
dipeluknya kembali, lalu munculah tokoh Bima, Kresna, Mitaraga, Gatot Kaca dan
sebagainya. Yang menarik tokoh-tokoh wayang itu dihadirkan dalam adegan dan
setting yang cenderung realistik. Sebagai orang Yogya yang berpendidikan Seni
di Yogya pula, ia nampak berkewajiban mensosialisasikan sang wayang lewat
medium yang lebih populer : seni lukis.
Pertemuan
dunia maya dan dunia realita dalam kanvas-kanvas Lugiono lantas menjadi jamak.
Sejumlah lukisan "Performance Dewa Ruci" yang menggambarkan
"wayang kulit" ditengah taman samodra realistik yang penuh ganggang,
aneka ikan hias, gurita dan kura-kura. Atau "Cakra Manggilingan (Circle of
Life)" yang menggambarkan sejumlah tokoh wayang kulit di hamparan padang
(lapangan) berprespektif. Pada karya-karya terakhirnya ia mengubah lika-liku
kecerdikan punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) dalam abstraksi menuju
dekoratif diatas kanvas kecil-kecil.
Warna-warnanya yang mencitrakan kegembiraan mendukung penyuguhan karakter para punakawan, penyuguh goro-goro yang ulet, selalu bergerak tak berkesudahan, sekaligus arif. Pada masa ketika massyarakat dunia mengumandangkan post modernisme, yang isinya menolak anggapan bahwa modernisme seni rupa hanya mengacu kepada seni Barat (Eropa dan Amerika), maka seni lukis yang bertema wayang menjadi salah satu pilihan.
Wayang adalah
khasanah seni khas Selatan atau Timur. Bahkan wayang kulit yang sudah diakui
sebagai "warisan dunia" (World Heritage) oleh UNESCO-PBB, dikenal
hanya milik orang Jawa dan Bali. Oleh karena itu lukisan-lukisan yang bertolak
dari pemahamanan wayang (kulit) seperti karya Lugiono, layak tampil didunia Barat,
yang dianggap sebagai "pemilik modernisme" ia bisa mewakili
modernisme Timur atau mewakili khasanah "post modernisme" yang unik
dan khas.
Agus
Dermawan T
Kritikus
Seni Rupa Indonesia
Penulis 22
Buku Seni Rupa
Konsultan
Biro lelang Christie's {Sumber@ tulisan yang terdapat dalam Museum Seni Rupa}
Komentar
Posting Komentar